CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 23 Agustus 2011

LAPORAN 15 Juni 2011


Menyorot kinerja SBY bersama Demokrat

Kasus dugaan korupsi suap yang menjerat mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menunjukkan adanya perpecahan di internal partai penguasa itu. Kubu minoritas yang dipimpin Ketua Umum DPP PD Anas Urbaningrum pecah kongsi dengan kubu senior Marzuki Ali dan Andi Mallarangeng. Kubu Anas Urbaningrum, dikatakan oleh banyak pengamat terdiri dari para pendatang baru yang sebenarnya bagian minoritas dari keluarga besar Partai Demokrat.
Gesekan mulai timbul saat para pemain baru itu seperti Nazaruddin dan kawan-kawan yang semakin leluasa memainkan posisi partai untuk kepentingan bisnis dan meraup rente bagi kepentingan pribadi. Keadaan itu, memaksa Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk merapikan kembali kondisi internal partai.
Belum lagi kasus Nazaruddin disebut-sebut bisa berkembang lebih jauh hingga menjerat anak bungsu SBY, Eddie Baskoro atau Ibas yang kini menjabat sebagai Sekjen DPP Partai Demokrat.
Yang ingin saya tanyakan kepada Bapak Hanta Yuda, selaku Pengamat Politik The Indonesian Institute

1.        Bagaimana Anda melihat perkembangan yang terjadi di Partai Demokrat serta benarkah telah terjadi perpecahan di tubuh Partai ini?
Saya kira kasus dugaan keterlibatan Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat) dalam kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games menjadi pemicu menguatnya faksionalisme di internal Partai Demokrat. Hal itu terlihat jelas dari perbedaan respons terhadap kasus tersebut.  Ada faksi yang terlihat begitu bersemangat memakai isu tersebut untuk mendelegitimasi kepemimpinan Anas karena Nazaruddin sering diasosiasikan sebagai gerbong Anas.
Kalau kita amati, setidaknya ada dua faksi yang cukup tajam perbedaannya. Pertama faksi yang mengambil posisi agar Nazaruddin diberikan hukuman semaksimal mungkin, dan dikaitkan dengan kedekatan Nazaruddin dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Karena kita tahu, Nazaruddin merupakan salah satu tim di gerbong Anas pada perhelatan Kongres di Bandung. Bahkan, belakangan mulai muncul isu Kongres Luar Biasa (KLB). Saya kira kubu ini merupakan barisan pendukung Andi Mallarangeng di Kongres lalu.
Sementara faksi yang lain bersemangat sekali ingin meminimalkan hukuman bagi Nazaruddin, dan cenderung membela. Kelompok ini berasal dari para pendukung Anas Urbaningrum di Kongres Bandung. Jadi, beberapa hari belakangan ini jelas sekali kita melihat adanya saling serang antar kubu (faksi) di Demokrat. Meskipun, para elite dan politisi Demokrat membantah itu, tetapi adanya “perang internal” di Demokrat sulit terbantahkan. Kisruh internal Demokrat ini, saya kira sekaligus menginfirmasikan bahwa faksionalisme di internal Demokrat memang terjadi dan itu seolah menunjukkan bahwa pertarungan beberapa kubu pada Kongres di Bandung belum usai.

Tapi menurut saya, faksionalisme di Demokrat ini berbeda dengan di Golkar atau beberapa partai lainnya. Secara teoretis faksionalisme partai itu terbagi dalam 3 kategori: Pertama, jenis faksi yang bersifat ideologis, terorganisir dan formal. Ini diakui di konstitusi partai. Kedua, faksi yang terbentuk karena pola relasi patron-klien yang biasanya dipengaruhi oleh faktir karisma tokoh yang memiliki basis social, politik, atau ekonomi. Ketiga, faksi yang terbentuk karena ikatan persamaan isu dan pandangan dalam merespons isu.
Faksionalisme di Golkar itu tergolong pada jenis kedua, masing-masing punya patron-nya masing-masing, dan masing-masing faksi relatif memiliki kekuatan yang berimbang. Tetapi, di Golkar juga termasuk jenis ketiga. Jadi kombinasi jenis faksionalisme kedua dan ketiga di Golkar. Nah, kalau di Demokrat itu tergolong jenis faksionalisme ketiga,  yakni terbentuk karena persamaan pandangan, terutama kelanjutan dari Kongres partai di Bandung. Patron-nya tetap satu, terpusat ke figure SBY.
Keputusan strategis dan penting di Demokrat saya pikir masih berada di tangan SBY. Meskipun SBY tidak mencengkram dan mengontrol secara keseluruhan politik internal Demokrat secara day to day, tetapi faksi-faksi di Demokrat itu pada akhirnya tetap bergantung pada figur SBY. Dan untuk beberapa tahun ke depan, pola ini saya kira tetap terjadi di Demokrat.  Sulit bagi faksi dalam Demokrat bisa menjaga kemandiriannya dengan figur SBY, meskipun dalam kadar yang berbeda.
Jadi setajam apapun faksionalisme di Demokrat, sampai saat ini saya berkeyakinan faktor personalitas figur SBY masih menjadi penentunya. Jadi, semua ini sangat tergantung pada figure sentral SBY. Soalnya, kalau dilihat dari sejarah maupun struktur anatomi Partai Demokrat,  SBY seolah “pemegang saham utama” di Partai Demokrat. Jadi, saya kira kekuatan figuritas inilah yang membedahkan karakteristik faksionalisme Demokrat dan Golkar.
Meskipun, faksionalisme di internal Demokrat tetap menjadi ancaman, tetapi tidak seberbahaya seperti di Golkar. Asalkan pengaruh dan karisma SBY masih cukup kuat dan menjadi pusat gravitasi internal Demokrat untuk mengelola faksionalisme itu, maka faksionalisme di Demokrat kecil kemungkinannya mengarah pada perpecahan partai.

2.      Bagaimana nasib Demokrat di tahun 2014? Dan akankah Demokrat dapat bertahan di tengah gonjang-ganjing ini?
Faksionalisme di internal Demokrat akibat kasus Nazarudin menjadi ancaman jika di saat yang sama khriasma SBY justru menurun. Harus diperhatikan juga faktor SBY tidak bisa dicalonkan lagi di Pemilu 2014, itu artinya ada semacam titik balik atau antiklimaks pengaruh kharisma SBY, tetap akan menjadi lampu kuning bagi Demokrat di 2014. Karena sedikit-banyak akan berdampak negatif terhadap citra dan soliditas Demokrat. Itu artinya juga akan berdampak terhadap kekuatan elektoral Demokrat di 2014.

3.   Menurut Anda, apa langkah yang semestinya dilakukan oleh SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai maupun Anas Urbaningrum selaku ketua Partai?
Saya kira kunci solusi dan penyelesaiannya lebih pada SBY, bukan Anas Urbanighrum. Perlu ketegasan sekaligus kepiawaian SBY dalam mengelola faksionalisme ini. Saya kira SBY bisa mengoptimalkan pengaruhnya di Demokrat dengan melakukan rekonsiliasi dan rekonsolidasi untuk menyolidkan partai. Faksionalisme itu bisa diantisipasi dengan dua model kepemimpinan, pertama kepemimpinan yang otoriter seperti Soeharto dalam mengendalikan Golkar pada masa Orde Baru. Kedua, pemimpin yang kharismatik dan berpengaruh memiliki keterampilan untuk mengelolah perbedaan. Nah, kalau SBY bisa berperan seperti yang kedua itu, saya kira Demokrat bisa segera me-recovery soliditas internalnya.
Tetapi, jauh lebih penting dari itu, saya pikir SBY perlu ketegasan dalam penyelesaian kasus Nazaruddin maupun kasus-kasus lainnya yang menyerempet kader Demokrat. SBY harus memimpin pemberantasan korupsi itu di mulai dari dalam “rumahnya” sendiri, yaitu Partai Demokrat. Hal ini penting, selain untuk mengakhiri kisruh internal, sekaligus juga untuk memparbaiki citra Demokrat di hadapan publik. Soalnya, strategi pendekatan politik pada 2009 yang mengangkat isu antikorupsi menjadi faktor kemenangan Demokrat pada 2009 selain faktor SBY yang menjadi magnet utamanya, hal itu didukung isu antikorupsi yang jadi jargon PD saat itu.

4.      Setelah SBY, sebagai simbol maupun tokoh di Demokrat, menurut Anda siapakah yang akan menggantikan posisinya untuk maju sebagai capres dalam pemilu tahun 2014 mendatang? Dan kenapa harus orang tersebut? Apa latar belakang yang mendasari tokoh tersebut untuk maju sebagai capres dalam pemilu 2014 nanti?
Mengenai calon presiden dari Partai Demokrat di 2014. Memang SBY sudah membuat pernyataan tidak akan mencalonkan anak dan istrinya. Tetapi saya pikir itu belum keputusan final. Hal itu tetap ada peluangnya. Bisa jadi statement SBY itu hanya sekedar testing the water, atau pidato pada posisi Demokrat “terjepit” saat ini. Bisa saja pada kondisi normal, atau terjadi hasil survey menujukkan dukungan publik terhadap Ibu Ani Yudhoyono  cukup baik, dan juga didukung pengurus PD di daerah-daerah, Ibu Ani yang diusung. Istilahnya, ini kehendak rakyat, bukan kehendak SBY. Tapi kalau survey menunujukkan dukungan terhadap Bu Ani rendah, saya yakin Pak SBY tak akan nekat mendukung istrinya. Jadi, Ibu ANi Yudhoyono saya lihat masih punya kans. Selain Ibu Ani, dari trah Cikeas juga ada nama Pangkostrad Pramono Edi Wibowo (ipar Pak SBY, adik Bu Ani Yudhoyono) yang saat ini menjadi calon terkuat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Jadi, menurut saya ada dua nama ini calon presiden Demokrat dari keluarga Cikeas. Selain itu, mungkin saja Pak SBY membuat kesepakatan politik dengan kekuatan politik lain. Misalnya ada nama-nama capres yang juga sudah mulai diperbincangkan, seperti Hatta Radjasa, Aburizal Bakrie, atau Mahfud MD yang dari luar parpol. Kalau kader muda Demokrat seperti Anas Urbaningrum atau kader muda lainnya, saya kira masih terlalu sulit jika mekanisme pencalonan presiden di Demokrat masih ditentukan di majelis tinggi. Kecuali jika SBY dan Demokrat berani mengadakan konvensi capres. Tetapi konvensi yang demokratis dan transparan, jadi perlu didahului dengan pemilu pendahuluan (primary election) di internal partai yang dikombinasikan dengan metodologi survey untuk efisiensi. Hal ini perlu dibuka kesempatan yang sama kepada kader maupun di luar kader untuk mendaftarkan diri menjadi capres. Konvensi semacam ini perlu didorong kepada semua partai, selain menguntungkan rakyat dan menyehatkan demokrasi, seleksi capres melalui konvensi juga memiliki efek positif bagi partai.

Benarkah ini sebuah perpecahan yang membawa dampak besar, dan dalam jangka panjang akan memukul Demokrat secara politik, serta mengubah perimbangan politik nasional? Ataukah justru isu korupsi itu sendiri yang lebih mempengaruhi naik-turunnya jumlah pendukung Partai Demokrat? 

0 komentar:

Posting Komentar