CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 23 Agustus 2011

LAPORAN 14 Agustus 2011


LAPORAN PENUGASAN
Rubrik            :           Simpul Utama
Masalah          :           Penulis Perempuan
Angle              :           Bagaimana sebenarnya kinerja penulis perempuan itu?
Narasumber   :           Titie Said
Oleh                :           Winda Destiana
Penulis perempuan tiba-tiba menjadi “sesuatu” manakala nama Ayu Utami muncul ke pentas sastra Indonesia. Kehadirannya itu memicu (kembali) sebuah istilah: “penulis atau sastrawan perempuan”. Sebab, setelah Ayu, kemudian muncul sejumlah nama perempuan lainnya di arena kesusastraan Indonesia. Mulai dari Ayu Nadia, Dewi Lestari, Jenar Ayu, dan sejumlah nama perempuan lainnya.

Ditemui di kediamannya, yang berlokasi di Pejaten Raya no 28 Jakarta-Selatan, Titie Said, penulis perempuan senior era 50an membagi kisah hidupnya selama menjadi penulis perempuan hingga namanya dikenal saat ini. Suasana halaman yang penuh dengan bunga sepatu, menjadikan rumah Titie Said semakin sejuk dan asri. Berikut petikan wawncara dengan beliau, Minggu 14 Agustus 2011.

Dari tahun berapa Ibu mulai mencintai dunia tulis menulis ini?
Kalau aku menulis itu sudah dari tahun 50an, waktu masih di SMP. Tapi nulisnya ada sajak, dulu kan lebih dikenal dengan syair, atau puisi lah. Puisi-puisi remaja kemudian aku kirim di Koran Surabaya. Aku sudah lupa apa nama korannya tetapi koran itu merupakan satu-satunya koran yang ada di Surabaya. Kemudian, ada satu peristiwa yang membelokkan aku ketika itu. Aku itu dulu mewakili fakultas sastra dari UI, kalau bertanding ada dua orang yang selalu mengalahkan aku. Rondang Herlinang Marpaung, dia sangat bagus membacanya, sejak itu aku merasa dia memang lebih bagus. Yang satunya lagi adalah W.S Rendra. Setiap kali ketemu, aku selalu kalah oleh W. S Rendra. Dia selalu yang pertama dan aku jadi yang kedua. Jadi aku suka sebel banget. Lalu aku bilang, Rendra suatu ketika aku akan membuktikan, aku akan mengalahkan kamu! Di bidang lain, masih dalam bidang sastra. Nah aku merasa menang dengan novel-novel ku ini, daripada W. S Rendra. Hahaha.. itu yang membuat aku seneng. Titie Said mengaku kalah kepada Rendra, di bidang sajak-sajak puisi Rendra hebat, di bidang novel, Titie Said lebih hebat. Hahaha.. Karna apa, karna Rendra tidak memproduksi novel. Jadi itu, sewaktu Rendra masih hidup juga aku katakan hal ini kepada dia. Dalam arti menang ini hanya canda-canda. Kita harus tunjukkan bahwa kita mampu lebih baik dari orang lain. Bisa dan mau mewujudkan hal tersebut.

Dalam menulis novel, biasanya Ibu mendapatkan inspirasi darimana?
Novel pertama ku “Jangan Ambil Nyawaku” nah inspirasi nya dalam membuat novel itu begini, aku kan dulu wartawan, aku interview seseorang nah darisitulah aku mendapatkan ide biasanya. Itu novel ku yang pertama, kalau buku, buku pertama ku terbit itu sekitar tahun 65an, aku lupa pastinya tahun berapa, maklum sudah lama sekali, buku tersebut berisi tentang kumpulan cerpen yang mendapatkan apresiasi dari H. B Jasin. Aku menjalani hidup ini dengan enak, mengalir, kalau angin memberikan tiupannya itu kewajiban tanpa kita merasa itu sebuah kewajiban, air mengalir adalah kewajiban yang diciptakan oleh Tuhan, tetapi aku tanpa merasa bahwa menjalankan kewajiban yang berat. Inspirasi datang ya karena menulis. Aku merasa perlu menulis. Coba kalau aku gak menulis, aku sudah pikun, dengan usia 76 tahun. Saat ini aku juga sedang menulis “perawan yang hilang” tetapi belum selesai. Aku tidak peduli diterbitkan atau tidak, yang aku pedulikan adalah aku menulis. Ini kepuasan tersendiri.

Novel yang Ibu buat, selalu fiksi atau berdasarkan kisah nyata, berdasarkan fakta yang terjadi?
Kalau saat ini barangkali ya, aku menjadi novelis pertama di jamanku dulu yang menggabungkan antara jurnalistik dan sastra. Karena saya wartawan, saya mewawancara seseorang, hal tersebut bisa dijadikan ide besar sebelum menulis. Jadi aku selalu based on true story tetapi dikembangkan ke dalam dunia sastra. Aku menulis tentang penyakit kanker, dimana dulu sekali saat jamanku dulu itu, jika istri menderita sakit kanker, suaminya pasti akan menikah lagi, selingkuh, nah yang aku buat, seorang yang berpenyakit kanker, suaminya tetap berdiri di sampingnya. Nah ini yang aku bawa di dunia sastra, Titie Said membawa sesuatu yang berbeda.
Lalu, aku juga pernah membuat novel tentang gay. Wah dulu aku sempat diprotes. Sempat dimuat juga kritiknya “menjijikan sekali karya Titie Said”. Aku katakan di dalam novel bahwa anak ini gay, terlahir memang gay, bahwa jiwa perempuan di dalam badan laki-laki. Yang mana yang akan menang. Kasihan, jiwa ini terjebak dalam kelamin laki-laki. Lalu aku buatkan novel, karena aku simpati, aku waktu itu sedang interview dia, kemudian dari situ aku paham, ada jiwa perempuan yang terjebak disana. Siapa yang harus disalahkan? Apakah kita menyalahkan Tuhan? Kan tidak! Itu kan takdir ya. Tetapi ketika anak itu begitu mencintai pasangan sejenisnya, dan kemudian ditinggal mati oleh pasangannya tersebut, dari situlah dia sadar. Dalam menulis ini, aku bertanya kepada Dokter, aku mendapat kiriman majalah dari luar negeri, karena disini kan belum ada majalah yang membahas tentang seperti itu. Akhir dari cerita ini ya dengan sadarnya anak itu setelah ditinggal mati pasangannya. Karena Tuhan yang menjadikan dia gay dan karena Tuhan juga yang telah membuatnya berubah, membuatnya tersadar dari kesalahannya selama ini. Di setiap novel atau karya yang dibuat, pasti tersimpan makna yang tersirat di dalamnya. Itu pasti.

Novel yang Ibu buat, dan menjadi favorit Ibu itu Novel yang mana? Dan bagaimana prosesnya sampai diterbitkan? Hambatannya seperti apa?
Jangan Ambil Nyawaku adalah novel ku yang pertama, tetapi buku ku yang pertama adalah Pertempuran dan Hati Perempuan, merupakan kumpulan cerpen yang tadi aku bilang di awal, mendapatkan apresiasi dari H. B Jasin. Menceritakan tentang kehidupan perempuan, bagaimana mereka menerima keadaan mereka, pasrah atau berusaha bertempur. Kalau untuk kendalanya, kemalasan yang mendera di dalam diri kita sendiri. Dan kita tidak menyadari jaman telah berubah. Cara mengatasinya dengan kekuatan dan tekat dari kita.

Apa pendapat Ibu tentang sastra Indonesia?
Saat ini, aku senang anak-anak muda karena banyak perempuan yang diberi perasaan, kepekaan dan kemudian bisa menangkap sesuatu yang terjadi. Sementara laki-laki lebih ke akal. Jadi kalau perempuan yang membuat, itu pasti ada getaran ketika kita membacanya. Tetapi kadang-kadang kita terjebak dengan ketele-telean. Maka sekarang ini jamannya adalah jaman yang muda. Aku senang sekali, jaman yang muda yang lebih bisa menangkap situasi jaman sekarang ini.

Dalam menulis, apa yang harus kita lakukan, agar pembaca berminat membaca karya kita?
Selera masa kini harus kita perhatikan. Kalau untuk orang-orang tua si oke-oke saja, tetapi untuk orang-orang muda, dia harus menangkap selera dan kondisi masa kini. Mengikuti perkembangan masa kini yang tidak panjang-panjang dalam berkarya, tidak seperti selera jaman dulu yang panjang-panjang.

Siapa pengarang yang berpengaruh pada dunia kepenulisan Ibu?
Aku tidak bisa mengatakannya siapa, aku menghargai semuanya kok, pertama-tama Armin Pane ya, karena dia pernah walaupun tidak lama ya, rumah dan kantorku dulu bersebelahan. Banyak hal-hal yang terjadi, kelucuan-kelucuan saat itu.

Bagaimana pendapat Ibu tentang sastra perempuan atau perempuan yang bersastra?
Perempuan yang bersastra aku senang sekali. Memang harus! Karena perempuan itu bisa menangkap situasi dengan cepat, menyerap pengalaman dengan sangat bagus. Dari kebeningan, dari kehalusan, maka muncullah. Banyak kok saat ini penulis perempuan muda yang sudah menerbitkan buku, ada yang masih berusia belasan bahkan puluhan.

Bagaimana pendapat Ibu tentang pembaca di Indonesia saat ini?
Ya, pembaca dibanding dengan negeri-negeri lain, Singapur kita kalah, Malaysia, Vietnam, Jepang apalagi kalah banget. Minat pembaca di Negeri kita masih rendah dibanding Negara lain.

Apakah aktivitas bersastra bisa diandalkan untuk hidup?
Aku tidak pernah mengandalkan ya, karena sebelum menikah aku sudah bekerja sebagai wartawan, empat periode di Lembaga Sensor Film, jadi biarlah begitu-begitu saja ya, enak. Mungkin ini yang jangan sampai ditiru, sekarang kan efisien. Kalau aku kan, tergantung bagaimana ilham, ide itu kapan datangnya, baru mulai menulis. Tetapi kalau sudah dimulai, kesananya pasti lancar. Jadi aku tidak mengandalkan kemampuan menulis aku ini untuk dijadikan satu-satunya pegangan hidup. Dapat uang ya sukur, tidak juga gak apa-apa.

0 komentar:

Posting Komentar