CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 23 Agustus 2011

LAPORAN 12 Agustus 2011


LAPORAN PENUGASAN
Rubrik            :           Simpul Utama
Masalah          :           Penulis Perempuan
Angle              :           Bagaimana sebenarnya kinerja penulis perempuan itu?
Narasumber   :           Pipiet Senja
Oleh                :           Winda Destiana
Penulis perempuan tiba-tiba menjadi “sesuatu” manakala nama Ayu Utami muncul ke pentas sastra Indonesia. Kehadirannya itu memicu (kembali) sebuah istilah: “penulis atau sastrawan perempuan”. Sebab, setelah Ayu, kemudian muncul sejumlah nama perempuan lainnya di arena kesusastraan Indonesia. Mulai dari Ayu Nadia, Dewi Lestari, Jenar Ayu, dan sejumlah nama perempuan lainnya.

Ditemui di Redaksi Zikrul Hakim, penulis yang bernama asli Etty Hadiwati ini dengan gamblang mau bercerita awal mula menjadi seorang penulis sampai kini namanya dikenal oleh negeri sendiri maupun mancanegara. Berikut petikan wawancara dengan beliau, Jumat 12 Agustus 2011.

Apa sebetulnya yang mendorong Anda menulis fiksi?
Saya ingin menjadi seseorang yang bermanfaat bagi banyak orang, ingin merekam jejak sejarah sekitar, diri dan lingkungan. Allah Swt member saya waktu, kesempatan dan itu tak boleh diabaikan. Harus dimanfaatkan demi masyarakat luas.

Apa hambatannya?
Biasanya terkendala karena sakit. Saya terserang penyakit yang tidak bisa sembuh, Talasemia, penyakit darah yang ditandai dengan berkurangnya Hemoglobin normal. Untuk bertahan, saya harus mendapatkan transfusi darah setiap bulannya. Dengan adanya penyakit ini saya justru semakin berusaha keras untuk tetap menulis. Karena dengan menulislah saya merasa hidup, lain dari pasien yang lainnya.

Bagaimana pertama kali Anda memulai karier Anda sebagai penulis ini?
Awalnya era 73-an, mulai menulis puisi dikirimkan ke radio-radio di Bandung. Kemudian dikirimkan pertama kalinya ke majalah Aktuil, langsung dimuat dalam rubrik Puisi Mbeling asuhan Remy Sylado. Karena terlecut karya pertama langsung dimuat, saya pun terus menulis dan menulis, tak peduli dimuat atau tidak.

Bagaimana suka dukanya?
Puisi-puisi saya langsung mendapat respon dari kalangan senior, hatta, puisi saya isinya filosofi, malah seperti tidak beragama. Hadeuh, ada-ada saja!
Sukanya ya begitu dapat honor yang jumlahnya dua kali lipat gaji Bapak Saya, perwira menengah, bisa disetor kepada orangtua, sebagian dibagikan dengan adik-adik, sisanya untuk membeli vitamin dan susu agar transfusinya bisa bertahan lama. Sejak usia 17 saya tak pernah lagi bergantung kepada orang tua urusan keuangan untuk keperluanku seperti sepatu, baju dll.

Apa novel pertama Anda dan yang paling berkesan? Bisa diceritakan secara mendetail sampai proses penerbitannya?
Biru Yang Biru adalah novel perdana saya yang diterbitkan oleh Penerbit Karya Nusantara, Bandung. Demi novel perdana tersebut aku rela menjadi pramuniaga toko penerbit dan percetakan tersebut di kawasan jalan Braga.

Apa pendapat Anda tentang sastra Indonesia? Tentang karya fiksi Indonesia?
Dari masa ke masa mengalami kemajuan yang sangat pesat, meggembirakan. Semakin banyak berlahiran penulis berbagai genre, dari seluruh pelosok negeri ada penulisnya yang memiliki ciri khasnya masing-masing.

Ada yang bilang, perempuan lebih dekat dengan sastra ketimbang laki-laki, bagaimana menurut Anda sendiri?
Mungkin ada benarnya, karena perempuan lebih banyak memiliki kesempatan dan waktu untuk menekuni khazanah kepenulisan. Pada era saya 70-an, ternyata lebih banyak kaum lelaki daripada perempuannya sebagai penulis. Namun sekarang, umpamanya saja di komunitasku yakni Forum Lingkar Pena, ternyata lebih banyak perempuan daripada lelaki.

Siapa pengarang yang berpengaruh pada dunia kepenulisan Anda? Mengapa?
Entah berpengaruh atau tidak, ya, tetapi saya terinspirasi oleh Emille Zola, Ernest Hemingway, Sidney Sheldon dari luar. Sedangkan dari dalam negeri; Motinggo Boesye, Ajip Rosidi dan NH.Dini, Titie Said dan La Rose.

Pendapat Anda tentang sastra perempuan atau perempuan bersastra?
Perempuan bersastra, barangkali lebih tepat ya. Karena sastra tak mengenal perbedaan apakah itu perempuan atau lelaki. Sastra ya sastra.

Bagaimana tentang pembaca Indonesia?
Masih sangat kurang jika dibandingkan animo membaca masyarakat luar, lihat saja kalau kita jalan ke Singapore, semua kalangan bahkan anak-anak hobi membaca di mana pun berada. Di kendaraan, ruang tunggu, mereka membaca. Sementara masyarakat kita di kendaraan lebih banyak suka mengantuk atau merumpi, di rumah lebih suka lihat infotainment.

Apakah aktivitas bersastra bisa diandalkan untuk hidup?
Tergantung individunya, ada yang bisa melakukannya tetapi lebih banyak menulis masih merupakan pekerjaan sampingan. Kebanyakan penulis kita memiliki pekerjaan lain di samping profesinya sebagai penulis.

0 komentar:

Posting Komentar