CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 11 Oktober 2011

Laporan 08 Oktober 2011 part 2

10 Tahun Q! Film Festival 2011:
Born This Way!

Q! Film Festival (Q!FF) kembali hadir di Jakarta untuk ke sepuluh kalinya pada tanggal 30 September 8 Oktober 2011. Festival film bertemakan LGBTIQ, Hak Asasi Manusia (HAM) dan HIV/AIDS ini diselengarakan oleh Q-munity, organisasi nirlaba yang bergerak di dunia seni. Awalnya ide festival film ini lahir dari beberapa orang jurnalis freelance pecinta film dimana mereka ingin membuka wacana dan memberi pilihan film non-mainstream (non Hollywood) bagi penggemar film di Indonesia. Ide ini direalisasikan pada tahun 2002 dengan nama Q! Screenings. Berjalan dengan waktu, Q! Screenings berubah menjadi Q! FilmFestival, yang tidak hanya memutar film, tapi juga memberi kesempatan pada seniman untuk berkarya di ajang Q! Exhibition, para penulis untuk bersuara di Q! Literature, nge-gosip hal-hal seru sambil tambah ilmu di Q! Gossip atau kesempatan bertukar pikiran dengan sutradara nasional dan internasional di sesi Q&A pada akhir pemutaran film.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Q!FF 2011 kembali didukung teman-teman setia baik dari kantung seni budaya (Kineforum, Komunitas Salihara, Galeri Foto Jurnalistik Antara), pusat kebudayaan asing (Erasmus Huis, Centre Culturel Francais, Japan Foundation), NGO HAM (Arus Pelangi, Kontras), LBH Jakarta, YLBHI, LBHM, kedutaan besar Kroasia, Komisi Uni Eropa, Komnas HAM, dan Komans Perempuan sampai dukungan individual dari tokoh industri film di Indonesia seperti Nia Dinata, Lola Amaria, Ria Irawan, Lucky Kuswandi, Paul Agusta.
Salah satu film yang diputar adalah 'Goddag Mit Navn Er Lesbisk' disutradarai oleh Iben Haahr Andersen dan Minna Grooss. Film yang diproduksi di Denmark pada tahun 2009 ini menceritakan tentang segala sesuatu kehidupan tentang kaum lesbi di negara Jerman dari tahun ke tahunnya. Bagaimana kehidupan mereka bersama pasangan sejenisnya. Bagaimana seks yang mereka lakukan sampai mereka memiliki anak seperti kehidupan normal pasangan beda jenis. Tentunya, untuk masalah keturunan, mereka harus menempuh cara pendonoran sperma, atau pembuahan sperma yang ditanamkan pada salah satu dari pasangan sejenis tersebut. Bagaimana mereka saling berinteraksi dengan sesama para lesbian lain. Pernikahan mereka pun tetap berjalan seperti layaknya pasangan beda jenis lainnya. Melakukan pemberkatan di gereja, setelah itu berdansa seperti halnya pengantin pada umumnya. 
Selain film tersebut, ada satu film pendek berdurasi sekitar 10 menit berjudul 'How To Make a Heartbeat'. Disutradarai oleh Rick Dillwood dan diproduksi di Amerika pada tahun 2009. Film ini masih mengangkat tentang kehidupan lesbi Amerika Serikat yang ingin mempunyai keturunan. Dengan gamblang mereka mengutarakan niat mereka kepada dokter spesialis kandungan. Usaha yang dilakukan adalah dengan memasukkan tabung sperma kepada rahim dari salah satu pasangan tersebut yang ingin merasakan bagaimana kehamilan itu terjadi. Prosesnya sama seperti wanita yang sedang hamil, menunggu kehamilan selama sembilan bulan baru lah kemudian mereka bisa memiliki keturunan. Meskipun sangat tidak mungkin jika mereka orang tua biologis si janin, akan tetapi masih ada cara lain untuk para pasangan sejenis yang tetap ingin memiliki keturunan.
Meskipun sempat menghadapi respon keras dan ancaman dari kalangan fundamentalis, ekstrimis dan relijius di tahun lalu, Q!FF 2011 tetap akan menghadirkan lebih dari 100 film (Film Feature, Dokumenter dan Short) yang berasal dari kurang lebih 25 negara dari seluruh dunia. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini Q!FF memiliki dua festival direktur: Meninaputri Wismurti dan Ahmad Hally.
Jika segala sesuatu dipandang dari kacamata yang salah, persepsi pandangan pun akan salah. Namun jika dilihat dari kacamata yang benar, mungkin demo yang terjadi pada tahun lalu di Goethe Institute tidak akan terjadi. Seni dan kebudayaan, tidak bisa selalu diselaraskan dengan agama. FPI menganggap Q!FF ini telah menyebarkan informasi-informasi yang bertentangan dengan islam, seperti memutarkan film berunsur kehidupan para gay dan lesbi. Padahal, harusnya kita patut menghargai apapun hasil karya seni yang tlah dibuat, karena pasti di dalamnya ada sebuah pesan yang ingin disampaikan.

0 komentar:

Posting Komentar